“Where were these peoples when he’s a live?”Begitu pertanyaan yang dilontarkan salah satu bodyguard Michael Jackson pada salah satu wawancara televisi pasca meninggalnya sang bintang.
Fans yang berjubel, menangis di depan rumah almarhum, meninggalkan banyak karangan bunga, pesan, bingkisan..dimana mereka saat sang bintang diberitakan depresi, terbelit hutang, bangkrut?
Mungkin saja, mereka yang menangis tersedu ini adalah orang yang mentertawakan Michael saat Michael tertangkap salah kostum di Dubai. Mungkin mereka orang yang menghujat Michael ketika kasus pelecehan seksual terhadap anak mencuat . Lalu, kenapa harus merasa begitu kehilangan saat sang bintang meninggal?
Waktu opa (papa ku) meninggal, aku sempat bingung. Ada perasaan yang selama ini tidak pernah aku rasakan, dan sampai sekarang pun tidak bisa di definisikan. Mungkin teman-teman yang sudah kehilangan orang tua juga merasakan rasa yang sama. Ada perasaan bingung tak terkira, bercampur rasa tidak percaya kalau hal ini (ditinggal mati papa) terjadi padaku, juga perasaan marah karena kepergiannya yang tanpa ‘persiapan’ sebelumnya. Entah bercampur rasa apalagi, hasilnya seperti yang aku bilang di awal, tidak terdefinisikan.
Perasaan ini mengingatkan bahwa aku sering mengabaikan hal-hal baik yang terjadi pada keseharian ku. Pikiran “sudah seharusnya begitu” mengalahkan “ini adalah karunia”
Pelukan hangat ketika kita butuh di peluk..sudah seharusnya begitu
Sarapan pagi yang menanti.. sudah seharusnya begitu
Rumah yang bersih .. sudah seharusnya begitu
Semua tagihan yang terbayar tanpa denda .. sudah seharusnya begitu
Seseorang yang ada dirumah ketika kita pulang....sudah seharusnya begitu
Telpon dari teman, sahabat, saudara yang menanyakan kabar atau sekedar say hai.. sudah seharusnya begitu
Sesuatu yang selalu ada, biasanya tidak dihargai karena kita berasumsi memang sudah seharusnya begitu. Dan ketika yang ”sudah seharusnya begitu” tiba-tiba tidak lagi tersedia..ada rasa kehilangan, penyesalan, kesadaran yang sudah sangat terlambat