Namanya Samson
Tentu saja itu hanya julukan. Aku tidak pernah tau siapa nama aslinya. Yang ku tau, para orang tua melarang anak-anak bergaul dengan Samson. Wajar saja, Samson terkenal sebagai anak nakal.
Perkenalanku -kalau memang itu bisa di katakan perkenalan – unik dan khas anak-anak. Sebagai anak yang baru pindah dari pedalaman Kalimantan, tinggal di perkampungan nelayan di tepi pantai melahirkan sensasi dan tantangan tersendiri.
Seorang anak laki-laki berkulit hitam legam dan tinggi di atas rata-rata, suatu hari melemparkan cacing gendut ke arah kami. Teman-teman ku otomatis berlari menjauh sambil berteriak-teriak. Di tempat ku berasal, ular segede kaki orang dewasa sudah jamak. Cacing segede itu sama sekali gk nakutin.
Dengan sok pede, aku memegang cacing laut yang menggeliat-geliat dan mengembalikannya pada si pelempar. “Mancing yuk, pake umpan ini”
Mungkin terpesona oleh keramahan ku terhadap si cacing, atau ajakan ku untuk memancing, si anak hitam keriting itu sesumbar kalau dia punya spot memancing paling top di Tanjung. Tempat yang berhantu!
Begitulah semua di mulai.
Kami sering memancing bersama, mencari buah bakau untuk katapel, atau mencari cancing umpan memancing yang hidup di lumpur di tepi pantai.
Lalu, suatu hari aku melihat orang-orang kampung mendatangi rumah Samson. Setahu ku Samson hanya tinggal dengan ibu dan nenek nya yang sudah renta.
Ibunya di kata-katai oleh penduduk kampung sebagai “perempuan tidak benar”
Ibunya berteriak-teriak membela diri, di timpali dengan dampratan orang kampung, tangisan neneknya, dan Samson terjepit di tengah-tengah.
Aku melihat Samson lari keluar rumahnya.
Dia lari dengan kecepatan angin.
Tidak mungkin terkejar oleh ku jika aku tidak tau kemana arah nya.
Aku mampir ke rumah untuk mengambil kail dan persediaan umpan ku. Lalu mencari nya,melalui hutan bakau untuk ke tanjung paling ujung, tempat kami biasa memancing.
Dia ada di sana.
Menangis seperti gila.
Belum pernah ku lihat orang menangis seperti itu sebelumnya. Seperti ada sesuatu yang berharga dirampas paksa darinya.
Aku duduk agak jauh, sambil memancing.
Berjam-jam, akhirnya tangisnya mereda.
Kulihat hasil pancingan ku, cukup banyak. Rupanya tangisan Samson bisa mendatangkan keingin tahuan banyak ikan untuk datang menonton sambil ngerumpiin Samson, yang akhirnya ikan-ikan itu berakhir di mata pancing ku. Lesson learnt, jangan pernah menjadikan kesedihan seseorang sebagai bahan rumpian kalo gk mau berakhir menjadi ikan goreng garing!!
Tadinya, aku kasihan padanya.
Karena dosa ibunya, dia harus menanggung malu.
Tapi yang keluar dari mulutnya setelah itu, membuatku tak bisa tidur malam nya.
Dengan terpatah-patah Samson menceritakan ibunya.
Mereka hanya bertiga. Neneknya yang sudah sangat tua, ibunya dan dia.
Ibunya melakukan apa saja agar mereka bisa makan, agar Samson bisa sekolah dan agar pondok reot tempat mereka tinggal tidak terlalu bocor.
Ibunya sangat sayang padanya dan nenek.
Memberikan jatah nasinya untuk Samson yang selalu kelaparan, memberinya sekeping uang untuk jajan es serut dan membelikannya sepatu Shanghai untuk sekolah. Walaupun itu artinya harus bekerja sebagai waiters di salah satu night club.
Dia sering mendengar ibunya menjadi bahan olok-olok laki-laki dewasa di kedai kopi, gunjingan ibu-ibu di kampung, juga ejekan anak2.
Ternyata Samson bukan menangis karena malu pada orang-orang kampung.
Dia sedih karena tidak bisa membela ibunya.
Hatinya luka karena hinaan orang-orang pada ibu yang di kasihinya.
Dan untuk seorang Samson, dia hancur melihat air mata mengalir dari mata wanita yang dia cintai dengan sepenuh jiwa .. Ibunya.
Di usia ku yang masih sangat belia, aku di paparkan pada cinta tulus seorang anak. Pada kesungguhannya untuk tetap mencintai ibunya, tampa pamrih. Pada janjinya untuk membesar dengan cepat agar ibunya tidak perlu bekerja lagi.
Tidak lama setelah kejadian itu, keluarga ku pindah dari kampung itu. Kudengar keluarganya juga pindah dari sana.
Aku tak pernah lagi mendengar tentang Samson.
Perasaan tulus yang dia bagi padaku hari itu menemaniku..sampai hari ini.
Tentu saja itu hanya julukan. Aku tidak pernah tau siapa nama aslinya. Yang ku tau, para orang tua melarang anak-anak bergaul dengan Samson. Wajar saja, Samson terkenal sebagai anak nakal.
Perkenalanku -kalau memang itu bisa di katakan perkenalan – unik dan khas anak-anak. Sebagai anak yang baru pindah dari pedalaman Kalimantan, tinggal di perkampungan nelayan di tepi pantai melahirkan sensasi dan tantangan tersendiri.
Seorang anak laki-laki berkulit hitam legam dan tinggi di atas rata-rata, suatu hari melemparkan cacing gendut ke arah kami. Teman-teman ku otomatis berlari menjauh sambil berteriak-teriak. Di tempat ku berasal, ular segede kaki orang dewasa sudah jamak. Cacing segede itu sama sekali gk nakutin.
Dengan sok pede, aku memegang cacing laut yang menggeliat-geliat dan mengembalikannya pada si pelempar. “Mancing yuk, pake umpan ini”
Mungkin terpesona oleh keramahan ku terhadap si cacing, atau ajakan ku untuk memancing, si anak hitam keriting itu sesumbar kalau dia punya spot memancing paling top di Tanjung. Tempat yang berhantu!
Begitulah semua di mulai.
Kami sering memancing bersama, mencari buah bakau untuk katapel, atau mencari cancing umpan memancing yang hidup di lumpur di tepi pantai.
Lalu, suatu hari aku melihat orang-orang kampung mendatangi rumah Samson. Setahu ku Samson hanya tinggal dengan ibu dan nenek nya yang sudah renta.
Ibunya di kata-katai oleh penduduk kampung sebagai “perempuan tidak benar”
Ibunya berteriak-teriak membela diri, di timpali dengan dampratan orang kampung, tangisan neneknya, dan Samson terjepit di tengah-tengah.
Aku melihat Samson lari keluar rumahnya.
Dia lari dengan kecepatan angin.
Tidak mungkin terkejar oleh ku jika aku tidak tau kemana arah nya.
Aku mampir ke rumah untuk mengambil kail dan persediaan umpan ku. Lalu mencari nya,melalui hutan bakau untuk ke tanjung paling ujung, tempat kami biasa memancing.
Dia ada di sana.
Menangis seperti gila.
Belum pernah ku lihat orang menangis seperti itu sebelumnya. Seperti ada sesuatu yang berharga dirampas paksa darinya.
Aku duduk agak jauh, sambil memancing.
Berjam-jam, akhirnya tangisnya mereda.
Kulihat hasil pancingan ku, cukup banyak. Rupanya tangisan Samson bisa mendatangkan keingin tahuan banyak ikan untuk datang menonton sambil ngerumpiin Samson, yang akhirnya ikan-ikan itu berakhir di mata pancing ku. Lesson learnt, jangan pernah menjadikan kesedihan seseorang sebagai bahan rumpian kalo gk mau berakhir menjadi ikan goreng garing!!
Tadinya, aku kasihan padanya.
Karena dosa ibunya, dia harus menanggung malu.
Tapi yang keluar dari mulutnya setelah itu, membuatku tak bisa tidur malam nya.
Dengan terpatah-patah Samson menceritakan ibunya.
Mereka hanya bertiga. Neneknya yang sudah sangat tua, ibunya dan dia.
Ibunya melakukan apa saja agar mereka bisa makan, agar Samson bisa sekolah dan agar pondok reot tempat mereka tinggal tidak terlalu bocor.
Ibunya sangat sayang padanya dan nenek.
Memberikan jatah nasinya untuk Samson yang selalu kelaparan, memberinya sekeping uang untuk jajan es serut dan membelikannya sepatu Shanghai untuk sekolah. Walaupun itu artinya harus bekerja sebagai waiters di salah satu night club.
Dia sering mendengar ibunya menjadi bahan olok-olok laki-laki dewasa di kedai kopi, gunjingan ibu-ibu di kampung, juga ejekan anak2.
Ternyata Samson bukan menangis karena malu pada orang-orang kampung.
Dia sedih karena tidak bisa membela ibunya.
Hatinya luka karena hinaan orang-orang pada ibu yang di kasihinya.
Dan untuk seorang Samson, dia hancur melihat air mata mengalir dari mata wanita yang dia cintai dengan sepenuh jiwa .. Ibunya.
Di usia ku yang masih sangat belia, aku di paparkan pada cinta tulus seorang anak. Pada kesungguhannya untuk tetap mencintai ibunya, tampa pamrih. Pada janjinya untuk membesar dengan cepat agar ibunya tidak perlu bekerja lagi.
Tidak lama setelah kejadian itu, keluarga ku pindah dari kampung itu. Kudengar keluarganya juga pindah dari sana.
Aku tak pernah lagi mendengar tentang Samson.
Perasaan tulus yang dia bagi padaku hari itu menemaniku..sampai hari ini.